Trump dan Xi Jinping Mengulur Waktu Usai Adanya Kecurigaan. Pada akhir Oktober 2025, dunia bernapas lega saat Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping muncul dengan kesepakatan gencatan senjata perdagangan yang mengejutkan. Pertemuan keduanya di pinggiran KTT Asia-Pasifik di Korea Selatan itu datang setelah bulan-bulan penuh kecurigaan, di mana tuduhan spionase industri dan pembatasan ekspor bahan langka hampir memicu perang dagang baru. China sempat mengancam membatasi pasokan rare earths—bahan krusial untuk elektronik dan pertahanan—sementara AS merespons dengan ancaman tarif tambahan. Alih-alih eskalasi, keduanya memilih menunda langkah ekstrem itu setidaknya setahun, dengan Xi menyebutnya sebagai “jembatan kepercayaan” dan Trump memuji sebagai “kemenangan besar bagi pekerja Amerika”. Tapi di balik senyum diplomatik, pertanyaan tetap menggantung: apakah ini jeda sementara atau fondasi damai jangka panjang? Dengan ekonomi global yang masih rapuh pasca-pandemi, kesepakatan ini bisa jadi penyelamat atau sekadar penguluran waktu sebelum badai berikutnya. INFO CASINO
Latar Belakang Kecurigaan yang Memanas: Trump dan Xi Jinping Mengulur Waktu Usai Adanya Kecurigaan
Ketegangan antara Washington dan Beijing tak lahir tiba-tiba. Sejak Trump kembali ke Gedung Putih awal 2025, tuduhan saling sindir soal pencurian teknologi dan dominasi rantai pasok global semakin kencang. China dituduh membatasi ekspor rare earths sebagai balasan atas pembatasan AS terhadap chip semikonduktor canggih, yang dianggap sebagai upaya Washington untuk memperlambat kemajuan militer Beijing. Laporan intelijen AS pada September lalu menyebut adanya “aktivitas mencurigakan” di pelabuhan China, di mana bahan langka itu diduga dialihkan ke proyek rahasia. Sementara itu, Xi menanggapi dengan pernyataan bahwa AS “mencoba memadamkan api dengan bensin”, merujuk pada sanksi yang membuat harga barang elektronik melonjak di pasar global.
Puncaknya terjadi dua minggu sebelum pertemuan, ketika menteri perdagangan China mengumumkan rencana pembatasan ekspor mulai November—langkah yang bisa menghentikan produksi hingga 70 persen perangkat teknologi di AS. Respons Trump? Ia mengancam menaikkan tarif impor hingga 60 persen pada barang-barang China, termasuk tekstil dan otomotif. Kecurigaan ini bukan hanya soal ekonomi; ada nuansa keamanan nasional, dengan AS khawatir ketergantungan pada rare earths membuatnya rentan terhadap pemerasan geopolitik. Di Beijing, narasi resmi menekankan bahwa pembatasan itu untuk “melindungi sumber daya alam”, tapi analis melihatnya sebagai kartu tawar dalam negosiasi yang lebih besar. Penguluran waktu ini, dengan penundaan setahun, seolah keduanya saling mengakui: perang dagang panjang tak menguntungkan siapa pun, terutama saat inflasi global masih menggerogoti kantong konsumen.
Detail Kesepakatan dan Langkah Konkret: Trump dan Xi Jinping Mengulur Waktu Usai Adanya Kecurigaan
Pertemuan di Korea Selatan berlangsung selama empat jam, lebih lama dari jadwal awal, dan menghasilkan lima poin utama yang langsung diumumkan. Pertama, China setuju menunda implementasi pembatasan ekspor rare earths hingga Oktober 2026, memberi AS waktu untuk diversifikasi sumber pasok—mungkin dari Australia atau Afrika. Sebagai imbalan, Trump berjanji menurunkan tarif pada impor China sebesar 25 persen untuk barang non-strategis, seperti pakaian dan furnitur, yang selama ini membebani rumah tangga Amerika. Kedua, isu fentanyl jadi sorotan: AS menawarkan menghapus tarif khusus pada obat-obatan China jika Beijing memperketat pengawasan produksi dan ekspor prekursor kimia—langkah yang Trump sebut sebagai “penyelamatan nyawa jutaan orang”.
Poin ketiga melibatkan janji pertukaran kunjungan: Trump akan ke China pada April 2026, diikuti Xi ke AS beberapa bulan kemudian, untuk membahas fase dua kesepakatan. Keempat, keduanya sepakat membentuk kelompok kerja bersama soal rantai pasok mineral kritis, termasuk audit transparan untuk mencegah penimbunan. Terakhir, ada klausul rahasia—setidaknya begitu spekulasi—tentang kolaborasi intelijen untuk mencegah spionase siber, meski detailnya dirahasiakan. Xi, dalam pidato singkat pasca-pertemuan, menekankan “saling menghormati” sebagai kunci, sementara Trump tweet-nya yang khas menyebut Xi sebagai “pemimpin hebat yang paham bisnis”. Langkah ini tak hanya mengulur waktu, tapi juga membuka pintu bagi investasi bersama, seperti proyek energi hijau di Asia Tenggara.
Implikasi untuk Ekonomi dan Geopolitik Global
Dampak kesepakatan ini langsung terasa di pasar. Indeks saham AS naik 2 persen sehari setelah pengumuman, sementara harga rare earths turun 15 persen di bursa komoditas. Bagi China, penundaan ini memberi napas bagi pabrik-pabriknya yang bergantung pada ekspor ke AS, yang menyumbang 20 persen PDB mereka. Tapi bagi AS, ini jadi peluang untuk mempercepat produksi domestik, dengan rencana subsidi miliaran dolar untuk tambang di Nevada dan Texas. Di sisi lain, negara ketiga seperti India dan Vietnam diuntungkan, karena bisa mengisi kekosongan rantai pasok yang terganggu.
Geopolitiknya lebih rumit. Kesepakatan ini meredakan tekanan pada sekutu AS seperti Jepang dan Korea Selatan, yang khawatir terjepit di tengah perang dagang. Namun, Rusia—pemasok rare earths alternatif—mungkin kehilangan pasar, sementara Uni Eropa mendorong regulasi sendiri untuk mengurangi ketergantungan pada China. Kecurigaan tak hilang begitu saja; intelijen AS masih memantau aktivitas Beijing di Laut China Selatan, dan Xi tak segan mengingatkan bahwa “kepercayaan dibangun pelan-pelan”. Bagi Trump, ini kemenangan politik jelang midterm, memperkuat citranya sebagai negosiator ulung. Bagi Xi, ini menunjukkan China sebagai mitra yang bertanggung jawab, meski di dalam negeri kritik muncul soal “kompromi terlalu cepat”. Secara keseluruhan, penguluran waktu ini bisa mencegah resesi global, tapi jika gagal diperpanjang, dunia siap-siap lagi untuk gejolak.
Kesimpulan
Kesepakatan Trump-Xi di Korea Selatan adalah pengingat bahwa di tengah kecurigaan yang menumpuk, diplomasi masih punya ruang bernapas. Dengan penundaan pembatasan dan penurunan tarif, keduanya tak hanya mengulur waktu, tapi juga membuka jendela untuk kolaborasi yang lebih dalam. Namun, ini bukan akhir cerita—hanya babak baru di mana kepercayaan harus dibuktikan lewat tindakan nyata. Bagi ekonomi global, jeda ini berharga, tapi pelajaran utamanya jelas: ketergantungan rantai pasok yang rapuh butuh reformasi mendalam. Jika Trump dan Xi bisa menavigasi tahun depan tanpa slip, perdamaian dagang ini mungkin bertahan. Kalau tidak, kecurigaan lama akan kembali menggelapkan langit. Yang pasti, dunia menonton dengan harap sekaligus waspada.
