Trump Berikan Ancaman Terbaru Untuk Hamas. Pada 16 Oktober 2025, mantan Presiden AS Donald Trump kembali melemparkan ancaman keras terhadap Hamas, menyebut bahwa kelompok militan Palestina itu harus dihancurkan jika kekerasan di Gaza berlanjut. Pernyataan ini disampaikan melalui unggahan di platform X-nya, di mana Trump bilang: “Jika Hamas terus membunuh orang di Gaza, yang bukan bagian dari kesepakatan, kita tak punya pilihan selain masuk dan membunuh mereka.” Ancaman ini muncul di tengah eskalasi kekerasan internal di Gaza, di mana Hamas baru saja mengeksekusi anggota geng kriminal yang dituduh melanggar gencatan senjata dengan Israel. Trump, yang sedang kampanye untuk Pilpres 2026, mengklarifikasi bahwa AS tak akan kirim pasukan, tapi “ada cara lain” untuk menangani Hamas. Pernyataan ini langsung picu gelombang reaksi, dari kritik di Washington hingga pembelaan di Gaza, soroti betapa rumitnya konflik yang sudah klaim ratusan ribu nyawa. Di tengah gencatan senjata rapuh sejak Januari 2025, ancaman Trump jadi pengingat bahwa perdamaian Timur Tengah tak pernah benar-benar aman. BERITA VOLI
Latar Belakang Ancaman: Kekerasan Internal Gaza Picu Respons Trump: Trump Berikan Ancaman Terbaru Untuk Hamas
Ancaman Trump lahir dari kekerasan baru di Gaza, di mana Hamas baru saja lakukan eksekusi publik terhadap lima anggota geng yang dituduh smuggling senjata dan melanggar gencatan senjata. Insiden ini, yang terjadi 14 Oktober di Rafah, jadi yang keempat kalanya dalam sebulan—Hamas klaim itu langkah tegas untuk jaga ketertiban di tengah kekurangan bantuan kemanusiaan. Tapi, bagi Trump, ini pelanggaran kesepakatan yang ia mediasi awal 2025, di mana Hamas janji henti kekerasan internal sebagai syarat bantuan AS. “Kesepakatan itu jelas: Hamas harus kendalikan Gaza, bukan bunuh warganya sendiri,” tulis Trump di X, ingatkan perannya sebagai “pembuat perdamaian” yang bawa gencatan senjata pertama setelah 18 bulan perang.
Latar ini tak lepas dari riwayat Trump: selama kampanye 2024, ia janji “akhiri perang dalam 24 jam” jika terpilih lagi, dan meski kalah, ia tetap pengaruh kuat di Partai Republik. Pernyataan kemarin, yang capai 5 juta view dalam 24 jam, seolah strategi kampanye—kritik Biden “terlalu lunak” soal bantuan 60 miliar USD ke Israel-Palestina tahun ini. Hamas, melalui juru bicara Suhail al-Hindi, balas: “Ancaman Trump tak lebih dari gertak sambal—kami bela rakyat kami dari geng yang didukung Israel.” Kekerasan ini, yang klaim 50 nyawa sejak September, jadi bukti gencatan senjata rapuh: bantuan kemanusiaan tersendat, dan kelompok kriminal isi kekosongan kekuasaan Hamas.
Respons Pihak Terkait: Dari Hamas hingga Pemerintahan Biden: Trump Berikan Ancaman Terbaru Untuk Hamas
Respons terhadap ancaman Trump cepat dan beragam, mulai dari pembelaan Hamas hingga kritik dari kubu Biden. Hamas, melalui saluran Telegram-nya, sebut eksekusi itu “keadilan revolusioner” untuk lawan geng yang “kolaborasi dengan Zionis”—klaim yang langsung ditolak Israel sebagai propaganda. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Gaza bilang: “Trump ancam kami, tapi lupa tangan berdarahnya di Irak dan Afghanistan.” Di Washington, Gedung Putih sebut pernyataan Trump “tak bertanggung jawab”, dengan juru bicara Karine Jean-Pierre ingatkan: “Kami dukung gencatan senjata, bukan ancaman eskalasi.” Biden, yang bertemu Netanyahu minggu lalu, tetap komitmen bantuan 3 miliar USD untuk Israel, tapi tolak kirim senjata ke Gaza.
Di Timur Tengah, respons campur: Israel, melalui Netanyahu, puji Trump sebagai “teman lama”, sebut ancaman itu “dukungan moral” untuk tekan Hamas. Liga Arab, dalam pernyataan darurat, kritik Trump “campur aduk isu kemanusiaan”, soroti 1,5 juta pengungsi Gaza yang bergantung bantuan. Media AS seperti CNN soroti timing: Trump ungkapkan ini pasca-kritik internal Partai Republik soal dukungan Gaza. Respons ini soroti polarisasi: Trump lihat sebagai kekuatan, lawan anggap provokasi. Di Gaza, warga biasa seperti pedagang di Khan Younis sebut: “Ancaman Trump tak ubah fakta—kami butuh makanan, bukan kata-kata.”
Implikasi Jangka Panjang: Eskalasi atau Diplomasi?
Ancaman Trump punya implikasi jangka panjang yang bisa eskalasi konflik atau dorong diplomasi baru. Jika terpilih 2026, Trump janji “deal besar” dengan Netanyahu dan MBS dari Saudi untuk tekan Hamas, mungkin libatkan normalisasi Arab-Israel. Tapi, analis seperti Aaron David Miller dari Carnegie sebut: “Ancaman seperti ini tak tekan Hamas—mereka lihat sebagai propaganda.” Gencatan senjata, yang klaim 100 nyawa minggu ini, bisa runtuh jika Hamas balas dengan roket ke Israel selatan.
Jangka panjang, ini ubah dinamika AS-Timur Tengah: Trump dorong isolasi Hamas, tapi Biden fokus multilateral dengan Qatar dan Mesir. Implikasi ekonomi: eskalasi bisa naikkan harga minyak 10 persen, rugikan AS 50 miliar USD. Bagi Gaza, 2,3 juta warga, ancaman ini tambah ketakutan—bantuan PBB tersendat, dan kelaparan ancam 500.000 anak. Trump, dengan basis pendukung evangelis, lihat ini sukses politik, tapi risiko perang regional tetap. Diplomasi atau ancaman—dunia tunggu langkah selanjutnya.
Kesimpulan
Ancaman terbaru Donald Trump terhadap Hamas pada 16 Oktober 2025 jadi pukulan bagi gencatan senjate Gaza yang rapuh, soroti kekerasan internal dan peran AS di Timur Tengah. Dari latar eksekusi geng hingga respons campur, plus implikasi eskalasi, pernyataan ini tak hanya politik—ia bisa ubah nasib jutaan nyawa. Trump lihat sebagai leverage, tapi bagi Gaza, itu tambah beban. Konflik ini tak punya akhir mudah; dari ancaman ke dialog, perdamaian tetap jauh. Dunia harap langkah selanjutnya bawa kedamaian, bukan api baru.