Total 132 Orang Tewas di Operasi Narkoba di Rio. Pada 28 Oktober 2025, Rio de Janeiro diguncang oleh operasi polisi paling mematikan dalam sejarah Brasil: total 132 orang tewas dalam penggerebekan massal terhadap geng narkoba di dua kawasan favela utara, Penha dan Complexo do Alemão. Aksi ini, yang melibatkan ribuan petugas bersenjata lengkap, menargetkan Comando Vermelho, kelompok kriminal yang mengendalikan aliran kokain dari Amazon hingga pelabuhan kota. Empat polisi juga gugur, sementara warga sipil terjebak di tengah tembakan dan ledakan. Gubernur negara bagian Claudio Castro menyebutnya sebagai “kemenangan atas terorisme narkoba”, tapi laporan awal dari pengawas negara bagian menyoroti kekerasan berlebih yang menewaskan mayoritas korban di lokasi. Kejadian ini memicu kemarahan nasional, dengan demonstrasi di jalanan Rio dan seruan investigasi dari Presiden Luiz Inácio Lula da Silva. Di balik angka mengerikan itu, operasi ini mencerminkan perjuangan abadi Brasil melawan kemiskinan, korupsi, dan perdagangan gelap yang merenggut nyawa tak berdosa. INFO CASINO
Latar Belakang Operasi Containment: Total 132 Orang Tewas di Operasi Narkoba di Rio
Operasi Containment dirancang selama dua bulan terakhir, didasari intelijen yang melacak ekspansi Comando Vermelho ke wilayah baru. Geng ini, yang lahir di penjara pada 1970-an dari aliansi tahanan politik dan kriminal, kini menguasai rute narkoba senilai miliaran dolar, merekrut remaja favela sebagai prajurit garis depan. Pemerintah Rio, di bawah Castro yang mengikuti pendekatan keras ala Bolsonaro, melihat operasi ini sebagai langkah tegas menjelang musim pariwisata. Mereka mengerahkan 2.500 personel dari polisi militer, unit khusus BOPE, dan bahkan elemen Angkatan Bersenjata, lengkap dengan helikopter dan kendaraan lapis baja. Moratorium operasi besar di favela sejak 2010-an dianggap gagal, karena kekerasan geng melonjak 40% tahun ini saja. Lula, yang menjanjikan reformasi polisi saat kampanye, awalnya mendukung tapi kini menjauhkan diri dari eskalasi. Latar belakang ini menunjukkan dilema Brasil: bagaimana memerangi kejahatan tanpa memperburuk siklus kekerasan di komunitas miskin yang rumah bagi 1,5 juta jiwa di favela Rio.
Jalannya Penggerebekan yang Brutal: Total 132 Orang Tewas di Operasi Narkoba di Rio
Aksi dimulai sebelum subuh, dengan helikopter melayang di atas perbukitan curam Complexo do Alemão. Polisi menyerbu dari empat sisi, menggunakan drone untuk memetakan posisi geng dan granat kejut untuk membubarkan barikade. Comando Vermelho membalas ganas: membakar bus untuk memblokir akses, melempar bom molotov, dan bahkan menerbangkan drone peledak yang menewaskan dua polisi. Baku tembak berlangsung enam jam, mengubah gang sempit menjadi medan perang, dengan peluru menembus dinding rumah kayu. Tim forensik menyita 42 senapan serbu, granat, dan 500 kilogram kokain, tapi mayat-mayat bergelimpangan di trotoar—128 dari pihak geng, empat polisi. Warga menceritakan anak-anak bersembunyi di lemari, sementara keluarga menangis di depan jenazah saudara yang tak bersenjata. Hingga siang, 81 tersangka ditangkap, tapi laporan saksi mata menyebut kemungkinan 10-15 korban sipil di antaranya. Operasi ini, meski sukses secara taktis, meninggalkan citra mengerikan: jalanan berlumur darah dan asap, dengan penduduk favela mengumpulkan tubuh-tubuh untuk identifikasi darurat.
Reaksi Nasional dan Internasional
Kemarahan meledak seketika. Di Rio, ratusan warga favela memprotes di depan markas polisi, membawa foto korban dan menuntut “keadilan, bukan pembantaian”. Kelompok hak asasi seperti Amnesty International mengecam kekerasan berlebih, menyoroti pola lama di mana 80% korban operasi polisi adalah warga miskin. Lula memerintahkan investigasi federal, menyatakan “syok mendalam” atas skala kematian dan menekankan perlunya pendekatan berbasis komunitas. Castro tetap membela, mengklaim operasi menyelamatkan nyawa jangka panjang dengan memukul geng. Di tingkat internasional, PBB menyerukan penyelidikan independen, sementara media Eropa seperti BBC dan Reuters menyoroti kontradiksi Brasil sebagai tuan rumah Olimpiade 2016 yang kini bergulat dengan kekerasan struktural. Secara ekonomi, pariwisata Rio terpukul: pemesanan hotel turun 20%, dan saham maskapai lokal merosot. Kongres Brasil mulai membahas reformasi, termasuk kamera body untuk polisi dan anggaran lebih besar untuk program sosial di favela. Reaksi ini menggarisbawahi jurang: antara keinginan keamanan dan hak hidup yang layak bagi yang tertindas.
Kesimpulan
Total 132 nyawa yang hilang di operasi narkoba Rio adalah tragedi yang tak bisa diabaikan, pengingat bahwa perang melawan kejahatan tak boleh mengorbankan yang tak bersalah. Meski memukul Comando Vermelho, aksi ini justru memperlemah kepercayaan masyarakat terhadap aparat, memperpanjang luka favela yang sudah dalam. Brasil perlu beralih dari senjata ke investasi: pendidikan, pekerjaan, dan dialog komunitas untuk memutus rantai kemiskinan yang melahirkan geng. Castro dan Lula punya kesempatan untuk membuktikan bahwa keamanan sejati lahir dari keadilan, bukan peluru. Rio, dengan pantainya yang indah dan semangat karnevalnya, pantas lepas dari bayang darah ini—menuju masa depan di mana favela bukan zona perang, tapi rumah bagi harapan.
