Penyandang Disabilitas Menyuarakan Kesetaraan Secara Bersama. Hari Disabilitas Internasional 2025 diperingati lebih meriah dari biasanya. Pada Selasa, 3 Desember, ribuan penyandang disabilitas dari berbagai daerah berkumpul di Lapangan Monas, Jakarta Pusat, dalam aksi bertajuk “Satu Suara untuk Kesetaraan”. Mereka datang dengan kursi roda, tongkat, bahasa isyarat, dan semangat yang sama: tuntut aksesibilitas, lapangan kerja, dan penghormatan hak yang setara. Aksi ini diikuti lebih dari 4.000 orang dari 27 provinsi, didukung puluhan organisasi disabilitas, mahasiswa, dan masyarakat umum. Tagar #SatuSuaraUntukKesetaraan langsung trending nomor satu di platform media sosial sejak pagi. Pesan utamanya sederhana tapi kuat: “Kami bukan beban, kami bagian dari Indonesia yang sama.” INFO SLOT
Tuntutan yang Jelas dan Konkret: Penyandang Disabilitas Menyuarakan Kesetaraan Secara Bersama
Para peserta bawa lima poin utama yang sudah disusun sejak September lalu. Pertama, pemerintah wajib laksanakan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas secara penuh, terutama pasal kuota 2 persen tenaga kerja di BUMN dan 1 persen di swasta. Kedua, aksesibilitas fisik di semua gedung publik, transportasi, dan tempat ibadah harus selesai paling lambat 2029—sesuai janji Presiden Prabowo di kampanye. Ketiga, anggaran disabilitas di APBN 2026 naik jadi minimal 1 persen, dari saat ini 0,3 persen. Keempat, pendidikan inklusi wajib di semua sekolah negeri tanpa terkecuali. Kelima, stop stigma dan kekerasan—termasuk kasus perundungan yang masih sering viral. Spanduk bertuliskan “Kami Bisa, Kalian Mau?” dan “Jangan Kasihani, Beri Kesempatan” jadi pemandangan paling banyak difoto.
Cerita Nyata dari Lapangan: Penyandang Disabilitas Menyuarakan Kesetaraan Secara Bersama
Di antara peserta, ada nama-nama yang langsung jadi sorotan. Rina, 29 tahun, tuna netra dari Yogyakarta, cerita ia ditolak 17 perusahaan meski lulusan S1 akuntansi cum laude. “Saya cuma minta kesempatan wawancara, tapi pintu ditutup sebelum buka,” katanya sambil pegang mikrofon. Di sisi lain, Diki, 26 tahun, pengguna kursi roda dari Bandung, tunjukkan video dirinya terjebak di stasiun kereta karena lift rusak selama tiga bulan. “Saya bolak-balik lapor, jawabannya selalu ‘anggaran belum ada’,” ujarnya. Ada juga kelompok tuna rungu yang tampilkan flashmob bahasa isyarat lagu “Indonesia Raya” dan “Tanah Airku”—penampilan yang bikin banyak penonton menangis. Semua cerita ini bukan keluh kesah; mereka bawa data, bukti, dan solusi konkret yang sudah diserahkan ke DPR dan Kementerian Sosial.
Respons Pemerintah dan Janji Baru
Menteri Sosial Saifullah Yusuf hadir langsung, janji bawa semua aspirasi ke rapat kabinet minggu depan. “Saya lihat sendiri semangat kalian. Saya bawa ini ke Pak Presiden, dan kami targetkan 2026 jadi tahun akselerasi inklusi,” katanya di atas panggung. Ia juga umumkan dua hal baru: pertama, mulai Januari 2026 semua stasiun kereta dan terminal bus besar wajib punya lift dan jalur landai yang berfungsi. Kedua, kuota kerja disabilitas di BUMN akan naik jadi 3 persen tahun depan. DPR melalui Komisi VIII juga beri sinyal positif: RUU Disabilitas yang mandek sejak 2023 akan dibahas ulang pada masa sidang Januari-Februari 2026. Respons ini disambut tepuk tangan meriah, meski banyak peserta bilang “kami tunggu bukti, bukan janji”.
Kesimpulan
Aksi “Satu Suara untuk Kesetaraan” 2025 jadi bukti nyata bahwa penyandang disabilitas Indonesia tak lagi mau diam di pinggir. Mereka datang dengan data, cerita, dan semangat yang sama kuatnya dengan orang lain. Tuntutan mereka bukan minta belas kasihan, tapi hak yang sama untuk hidup bermartabat. Respons pemerintah cukup cepat dan konkret, tapi semua mata tertuju pada eksekusi 2026. Jika janji ditepati, tahun depan bisa jadi titik balik inklusi di Indonesia. Jika tidak, aksi seperti ini pasti kembali—dan mungkin lebih besar. Yang jelas, suara mereka sudah terdengar keras, dan tak ada alasan lagi untuk pura-pura tak dengar.
