Jepang & Korsel Waspadai Diplomasi Trump. Era kedua Donald Trump di Gedung Putih langsung bikin Tokyo dan Seoul gelisah. Pendekatan diplomasi “transaksional” Trump—yang lebih suka deal langsung daripada komitmen jangka panjang—mengguncang fondasi aliansi AS di Asia Timur. Mulai dari tekanan tarif perdagangan hingga keraguan soal dukungan militer terhadap Taiwan, Jepang dan Korea Selatan kini sibuk menavigasi ketidakpastian ini. Di tengah ancaman China dan Korea Utara yang makin nyata, kedua sekutu utama AS ini mulai memikirkan opsi mandiri, termasuk kerjasama bilateral yang lebih erat. INFO SLOT
Kekhawatiran atas Komitmen Keamanan AS: Jepang & Korsel Waspadai Diplomasi Trump
Trump sudah tunjukkan tanda-tanda prioritas “America First” yang ekstrem. Sikapnya terhadap konflik Ukraina—dilihat sebagai dukungan implisit terhadap Rusia—membuat Tokyo dan Seoul khawatir pola serupa bisa terulang di Pasifik. Bayangkan kalau Trump “deal” dengan China soal Taiwan, meninggalkan aliansi lama di pinggir. Di Korea Selatan, kekhawatirkan spesifik muncul soal penarikan pasukan AS (US Forces Korea), yang bisa dikurangi sebagai bagian dari negosiasi transaksional. Presiden Lee Jae-myung bahkan bilang dia bakal nominasi Trump untuk Nobel kalau berhasil denuklirisasi Korea Utara, tapi di balik itu, Seoul waspadai kemungkinan dialog AS-Pyongyang yang sidelining Korsel. Sementara di Jepang, Perdana Menteri Shigeru Ishiba khawatir misil anti-pesawat Jepang yang baru tak cukup jangkau Taiwan kalau AS mundur. Hasilnya, kedua negara dorong kerjasama trilateral AS-Jepang-Korsel, tapi dengan nada hati-hati supaya tak tergantung total.
Tekanan Ekonomi dari Tarif dan Investasi: Jepang & Korsel Waspadai Diplomasi Trump
Diplomasi Trump tak lepas dari dompet. Jepang sudah “menyerah” dengan janji investasi US$550 miliar di industri AS, termasuk impor energi LNG lebih banyak, buat hindari tarif 25% pada ekspor mobil dan elektronik. Korea Selatan ikut kena tekanan serupa: kesepakatan akhirnya US$350 miliar investasi tunai plus US$150 miliar kerjasama galangan kapal, demi tarif lebih rendah 15%. Ini bukan cuma soal uang—ini soal ketergantungan. Korsel, yang ekspornya ke AS capai 20% total, khawatir tarif baru bakal hantam industri semikonduktor dan otomotif. Jepang, sebagai mitra dagang terbesar AS di Asia, juga gelisah soal aturan digital: perusahaan tech AS protes regulasi data lokasi Korsel yang batasi layanan seperti peta digital. Di tengah perang dagang global, kedua negara ini anggap diplomasi Trump sebagai “ancaman harian”, dorong mereka cari pasar alternatif sambil jaga hubungan baik dengan Washington.
Kerjasama Bilateral Jepang-Korsel di Tengah Badai
Ironisnya, ketakutan akan Trump malah perkuat ikatan Jepang-Korsel. Summit Agustus 2025 di Tokyo—pertama dalam 17 tahun dengan siaran pers bersama—jadi tonggak. Lee Jae-myung, yang dulu progresif anti-Jepang, kini sebut Tokyo sebagai “mitra tak tergantikan” untuk ekonomi dan stabilitas Indo-Pasifik. Ishiba setuju, tekankan shuttle diplomacy reguler untuk tangani isu sejarah tanpa ganggu kerjasama sekarang. Fokus utama: ancaman bersama dari Korea Utara-Rusia, yang makin dekat lewat parading militer dan sanksi evasion. Di sisi tech, keduanya dorong kolaborasi AI, luar angkasa, dan siber buat lawan tarif Trump. Bahkan, Trilateral Cooperation Secretariat (TCS) dengan China diperpanjang masa jabatan pejabatnya jadi tiga tahun, sebagai buffer ekonomi. Trump sendiri sempat khawatir soal hubungan bilateral mereka di summit AS-Korsel, tapi Lee jawab singkat: “Sudah diselesaikan di Tokyo.”
Kesimpulan
Diplomasi Trump bikin Jepang dan Korea Selatan waspadai, tapi juga jadi katalisator perubahan. Dari keraguan keamanan hingga beban ekonomi, keduanya kini lebih proaktif: perkuat trilateral dengan AS, tapi tak ragu bangun jaringan mandiri. Ini era di mana aliansi lama diuji, dan Tokyo-Seoul tunjukkan adaptasi cepat. Kalau Trump lanjut transaksional, dua sekutu ini mungkin mulai pertimbangkan opsi ekstrem seperti program nuklir sendiri—meski masih jauh. Yang pasti, Asia Timur tak lagi tunggu Washington; mereka bentuk nasib sendiri. Di tengah badai, kerjasama justru jadi pelindung terbaik.
