Apakah Trump Dapat Menjamin Perang Bisa Berakhir Selamanya? Dua tahun pasca-serangan dahsyat Hamas pada 7 Oktober 2023, yang tewaskan 1.200 warga Israel dan culik ratusan sandera, Presiden AS Donald Trump kembali jadi pusat perhatian di panggung Timur Tengah. Pada 8 Oktober 2025, Trump klaim proposal 20 poinnya untuk ceasefire Gaza “sangat dekat” dengan kesepakatan, dengan envoys seperti Jared Kushner dan Steve Witkoff sudah tiba di Sharm el-Sheikh, Mesir, untuk dorong negosiasi. Tapi, pertanyaan besar menggantung: apakah Trump bisa jamin perang ini berakhir selamanya? Gaza, yang sudah kehilangan lebih dari 67 ribu nyawa dan 70% infrastrukturnya hancur, butuh lebih dari janji—ia butuh jaminan abadi. Di tengah harapan warga Gaza yang lelah dan tekanan Israel untuk keamanan total, proposal Trump ini jadi ujian: langkah berani menuju damai, atau sekadar jeda sementara? Kita bedah peluang dan risikonya. MAKNA LAGU
Proposal Trump: Janji Besar untuk Ceasefire Cepat: Apakah Trump Dapat Menjamin Perang Bisa Berakhir Selamanya?
Proposal Trump, yang lahir dari pertemuan September 2025 dengan Netanyahu, sederhana tapi ambisius: hentikan perang segera, lepas semua sandera Israel (hidup dan mati), dan serahkan administrasi Gaza ke pemerintahan teknokrat non-faksi. Israel tarik pasukan ke garis perbatasan, Hamas lepas kendali, dan AS janji jaminan keamanan permanen—termasuk bantuan rekonstruksi massal. Trump beri deadline ketat ke Hamas: terima hingga 5 Oktober, atau hadapi “neraka total.” Ini bukan rencana baru; Trump bangun dari kesuksesan Abraham Accords-nya di masa lalu, di mana ia normalisasi hubungan Israel-Arab tanpa libatkan Palestina langsung.
Di lapangan, langkah ini terlihat menjanjikan. Delegasi Hamas dan Israel sudah bertemu di Kairo, dengan mediator Mesir-Qatar bilang hari pertama “positif.” Trump sendiri bilang AS bakal lakukan “segala kemungkinan” untuk pastikan ceasefire dihormati, termasuk tekanan ekonomi ke pihak yang langgar. Bagi Trump, ini kemenangan politik: akhiri perang sebelum ulang tahun kedua, pulangkan 100 sandera tersisa, dan posisikan diri sebagai “pembawa damai” Nobel-worthy. Tapi, janji besar ini punya celah—proposal tak sebut eksplisit akhir pendudukan Israel atau hak Palestina jangka panjang, bikin skeptis bilang ini lebih ke arah demiliterisasi Gaza daripada solusi dua negara.
Respons Pihak-pihak: Antara Harapan dan Syarat Ketat: Apakah Trump Dapat Menjamin Perang Bisa Berakhir Selamanya?
Hamas respons “ya, tapi” ke proposal Trump, siap serahkan kekuasaan dan lepas sandera asal dapat jaminan perang tak resume—seperti yang terjadi Maret lalu. Mereka tuntut ceasefire permanen, tarik penuh pasukan Israel, dan mulai rekonstruksi segera, plus tukar tahanan Palestina. Delegasi Hamas di Qatar, dipimpin Khalil al-Hayya yang selamat dari upaya pembunuhan Israel, bilang ini “kesempatan emas” tapi tak mau jebak di kesepakatan sementara. Di sisi Israel, Netanyahu dukung penuh, lihat ini cara hapuskan Hamas tanpa biaya militer lebih lanjut, meski koalisi far-right-nya desak pendudukan total Gaza.
Warga Gaza, yang 90% bergantung bantuan PBB, campur aduk: harap Trump paksa akhir perang seperti janjinya, tapi curiga karena serangan Israel lanjut tewaskan 130 orang dalam tiga hari terakhir. Di AS, Trump puji Netanyahu sebagai “teman setia,” sementara oposisi domestik kritik proposal ini abaikan akar konflik seperti blokade Gaza. Negara Arab seperti Mesir dan Qatar dorong cepat, tapi Iran—pendukung Hamas—diam-diam sabotase lewat proxy. Respons ini tunjukkan Trump punya leverage besar sebagai presiden, tapi tanpa komitmen bilateral kuat, kesepakatan bisa runtuh kapan saja, seperti negosiasi gagal sebelumnya.
Tantangan Jangka Panjang: Damai Abadi atau Siklus Baru?
Bisa kah Trump jamin perang berakhir selamanya? Tantangannya monumental. Pertama, Hamas tolak disarm total, khawatir hilang kendali Gaza pasca-alih daya ke teknokrat—mereka mau jaminan Netanyahu tak serang lagi. Kedua, Israel khawatir sandera lepas tapi ancaman roket balik, tuntut buffer zone permanen di Gaza. Ketiga, isu regional: proposal Trump abaikan peran Hezbollah atau Iran, yang bisa eskalasi konflik lebih luas. Analis bilang, tanpa solusi dua negara atau reformasi Palestina, damai cuma jeda—seperti Oslo Accords yang gagal.
Trump punya rekam jejak: ia akhiri perang ISIS cepat, tapi kritik bilang Gaza butuh lebih dari tekanan militer. Di 2025, dengan pemilu AS mendekat, Trump pakai ini untuk boost image, tapi kegagalan bisa rusak kredibilitas global AS. Warga Gaza harap “false dawn” ini beda, tapi sejarah tunjukkan perang Timur Tengah jarang abadi tanpa rekonsiliasi mendalam. Trump bisa paksa ceasefire, tapi jaminan selamanya? Itu butuh diplomasi holistik, bukan deadline.
Kesimpulan
Proposal Trump untuk Gaza di Oktober 2025 bawa angin segar: ceasefire cepat, sandera pulang, dan Gaza bangkit dari puing. Dari janji besarnya hingga respons hati-hati Hamas-Israel, plus tantangan siklus kekerasan, jelas Trump punya pengaruh untuk akhiri perang ini—setidaknya sementara. Tapi, jaminan “selamanya”? Sulit, tanpa atasi akar seperti pendudukan dan hak Palestina. Saat envoys Trump dorong deal di Mesir, harapan warga Gaza dan Israel bergantung pada komitmen nyata. Trump bisa jadi katalisator damai, tapi abadi atau tidak, itu tergantung semua pihak pilih dialog daripada dendam. Di akhir hari, perang tak pernah berakhir sendirian—ia butuh keberanian untuk maaf dan maju bersama.