Mengapa Militer Myanmar Sangat Unggul Saat Pertempuran. Di tengah konflik sipil yang kian membara sejak kudeta 2021, militer Myanmar—orang menyebutnya Tatmadaw—tampak kembali mendominasi medan perang. Pada akhir 2025 ini, pasukan junta berhasil merebut kembali wilayah-wilayah strategis dari kelompok perlawanan, seperti di negara bagian Shan dan Rakhine. Serangan ofensif yang dimulai sejak Juli lalu menunjukkan keunggulan tak terbantahkan, dengan ratusan ribu pengungsi baru dan korban jiwa yang melonjak. Analisis terkini mengungkap bahwa keberhasilan ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari kombinasi dukungan luar, kekuatan internal, dan taktik lapangan yang kejam. Saat junta bersiap menggelar pemilu yang kontroversial, pertanyaan muncul: apa yang membuat militer ini begitu unggul saat bertempur? Langkah ini tak hanya mengubah peta konflik, tapi juga menimbulkan kekhawatiran global soal stabilitas Asia Tenggara. Mari kita kupas alasannya secara singkat. REVIEW KOMIK
Dukungan Eksternal yang Menentukan: Mengapa Militer Myanmar Sangat Unggul Saat Pertempuran
Salah satu pilar utama keunggulan Tatmadaw adalah bantuan dari mitra strategis di luar negeri. China, sebagai tetangga utara yang punya investasi miliaran dolar di sektor energi Myanmar, kembali memberikan dukungan masif sejak awal 2025. Ini termasuk pasokan senjata ringan dan amunisi yang krusial untuk operasi darat, plus akses ke jalur logistik yang aman melalui perbatasan. Tanpa tekanan sanksi Barat yang ketat terhadap Beijing, aliran bantuan ini mengalir lancar, memungkinkan junta untuk mengisi ulang stok yang menipis akibat perlawanan berkepanjangan.
Rusia juga ikut andil, meski lebih terbatas, dengan menyediakan komponen untuk pesawat tempur dan sistem pertahanan udara. Dukungan ini tak hanya material, tapi juga diplomatik: veto di Dewan Keamanan PBB yang melindungi junta dari resolusi tegas. Bagi kelompok perlawanan seperti Aliansi Tiga Saudara atau People’s Defense Force, ini jadi mimpi buruk—mereka bergantung pada bantuan sporadis dari diaspora dan negara Barat, yang sering terhambat birokrasi. Akibatnya, Tatmadaw bisa mempertahankan momentum, merebut kembali kota-kota kunci seperti Lashio di utara, yang jatuh ke tangan pemberontak enam bulan lalu. Dukungan eksternal ini tak membuat junta tak terkalahkan, tapi jelas memberi keunggulan logistik yang sulit disaingi.
Kekuatan Internal dan Sumber Daya: Mengapa Militer Myanmar Sangat Unggul Saat Pertempuran
Di dalam negeri, Tatmadaw unggul berkat struktur organisasi yang kokoh dan sumber daya alam yang melimpah. Dengan sekitar 300 ribu personel aktif—termasuk paramiliter yang direkrut paksa—militer ini punya basis manusia yang lebih besar daripada gabungan semua kelompok oposisi. Pelatihan mereka, yang diwarisi dari era kolonial dan perang dingin, fokus pada disiplin ketat dan loyalitas mutlak, meski sering dikritik karena pelanggaran hak asasi. Pada 2025, junta berhasil merekrut lebih banyak prajurit melalui kampanye wajib militer, meski dengan biaya sosial tinggi seperti desersi massal.
Sumber daya alam jadi senjata rahasia: Myanmar kaya gas alam, minyak, dan mineral langka yang diekspor untuk membiayai perang. Pendapatan ini, diperkirakan mencapai miliaran dolar per tahun, digunakan untuk impor senjata dan membangun basis militer baru. Berbeda dengan pemberontak yang kesulitan mendanai operasi di hutan belantara, Tatmadaw bisa mengandalkan jaringan pasokan yang aman, termasuk kereta api dan jalan tol yang dikontrol ketat. Hasilnya, di pertempuran baru-baru ini di Sagaing, pasukan junta bisa mengerahkan artileri berat dan tank tanpa hambatan, sementara musuh mereka terbatas pada senjata ringan curian. Kekuatan ini tak lepas dari kontrol junta atas ibu kota dan pelabuhan utama, yang memastikan aliran barang tetap mengalir meski ekonomi nasional ambruk.
Strategi Taktis dan Dominasi Udara
Yang membuat Tatmadaw benar-benar menonjol adalah strategi pertempuran yang adaptif dan brutal. Mereka mengandalkan serangan udara intensif sebagai senjata utama, dengan ratusan sortira dan pemboman presisi yang menargetkan posisi pemberontak. Pada 2025, armada helikopter dan jet tempur mereka—sebagian besar model lama tapi dirawat baik—menjadi mimpi buruk bagi perlawanan, yang kekurangan pertahanan udara canggih. Serangan ini tak hanya menghancurkan infrastruktur musuh, tapi juga mematahkan moral, memaksa warga sipil bergabung atau melarikan diri.
Taktik daratnya pun efektif: gabungan pasukan elit dengan milisi lokal untuk membersihkan desa demi desa, sering disertai taktik bumi hangus seperti membakar ladang padi atau memotong pasokan air. Ini menciptakan zona penyangga yang luas, mempersulit gerilya pemberontak untuk bergerak. Di wilayah perbatasan seperti di Kachin, junta menggunakan data intelijen dari drone murah untuk mengantisipasi serangan, membalikkan keadaan dari kekalahan awal tahun lalu. Meski perlawanan menunjukkan koordinasi lebih baik—seperti operasi gabungan di Operation 1027—mereka masih kalah dalam hal mobilitas dan koordinasi jarak jauh. Strategi ini, walau dikecam sebagai kejahatan perang, terbukti efisien dalam merebut kembali 10-15 persen wilayah yang hilang sejak 2024.
Kesimpulan
Keunggulan militer Myanmar di medan perang 2025 adalah campuran sempurna dari dukungan eksternal, kekuatan internal, dan strategi taktis yang tak kenal ampun. Ini memungkinkan junta untuk bangkit dari posisi bertahan menjadi penyerang, meski kontrol wilayah mereka masih di bawah 25 persen. Bagi perlawanan, tantangan ini menuntut solidaritas lebih erat dan bantuan internasional yang lebih tegas, sementara dunia harus waspada agar konflik ini tak meluas ke negara tetangga. Pada akhirnya, kemenangan sementara Tatmadaw tak menjamin stabilitas—malah bisa memicu perlawanan lebih ganas. Solusi sejati ada pada dialog inklusif dan tekanan global untuk transisi damai, agar Myanmar tak lagi jadi medan perang abadi. Di saat ini, harapan tetap hidup: perjuangan rakyat untuk kebebasan bisa mengubah narasi, asal dunia tak tinggal diam.
