Ekuador Buat Status Darurat Usai Protes Subsidi BBM Dihapus. Ekuador sedang berada dalam situasi genting setelah Presiden Daniel Noboa menetapkan status darurat di tujuh provinsi pada 17 September 2025, menyusul gelombang protes besar-besaran akibat penghapusan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Kebijakan ini memicu kemarahan warga, terutama kelompok masyarakat adat, yang merasa terbebani oleh kenaikan harga bahan bakar. Unjuk rasa yang berlangsung di berbagai kota, termasuk Quito, berubah menjadi kekacauan dengan aksi blokade jalan dan bentrokan dengan polisi. Artikel ini akan mengupas situasi terkini di Ekuador, alasan di balik penghapusan subsidi BBM, dampak protes terhadap korban, dan implikasi dari krisis ini. BERITA BOLA
Apa yang Terjadi Dengan Negara Ekuador Saat Ini
Ekuador kini dilanda ketegangan sosial setelah keputusan pemerintah menghapus subsidi BBM memicu demonstrasi di puluhan provinsi. Status darurat diberlakukan di tujuh provinsi yang mengalami kekerasan paling parah, termasuk Pichincha dan Imbabura. Dekrit darurat ini menangguhkan hak berkumpul dan memungkinkan pengerahan militer untuk membubarkan kerumunan yang dianggap mengancam keselamatan publik. Di Quito, demonstran memblokir jalan raya utama seperti Pan-American North dengan batu dan ban bekas, mengganggu distribusi barang dan mobilitas warga. Polisi antihuru-hara dikerahkan dengan gas air mata untuk mengendalikan situasi, namun protes terus berlanjut. Kelompok masyarakat adat, seperti Konfederasi Masyarakat Adat Ekuador (Conaie), memimpin aksi, menuntut pencabutan kebijakan dan perhatian lebih untuk masyarakat miskin. Situasi ini mengingatkan pada protes serupa pada 2019 dan 2022, yang juga dipicu oleh isu subsidi BBM.
Kenapa Subsidi BBM Dihapus di Negara Ekuador
Penghapusan subsidi BBM diumumkan Presiden Noboa pada awal September 2025 sebagai bagian dari upaya menyelamatkan anggaran negara sebesar $1,1 miliar (sekitar Rp 18 triliun). Dana ini rencananya akan dialihkan untuk program bantuan sosial dan dukungan pertanian, di tengah resesi ekonomi yang diperparah oleh pemadaman listrik bergilir pada 2024. Kebijakan ini membuat harga diesel melonjak dari $1,80 menjadi $2,80 per galon, atau sekitar Rp 7.887 ke Rp 12.160 per liter, sebuah kenaikan yang signifikan untuk negara di mana sepertiga penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan. Pemerintah beralasan bahwa subsidi BBM telah membebani keuangan negara selama dekade, terutama karena Ekuador, meski produsen minyak, menghadapi penurunan produksi akibat kerusuhan dan vandalisme. Noboa menegaskan bahwa langkah ini diperlukan untuk menstabilkan ekonomi dan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, meski keputusan ini menuai kritik keras dari kelompok masyarakat adat yang merasa paling terdampak.
Apakah Demo Ini Memakan Korban
Protes ini sayangnya tidak berlangsung damai dan telah memakan korban. Hingga 17 September 2025, setidaknya tiga orang dilaporkan tewas dalam bentrokan antara demonstran dan aparat keamanan di Quito dan provinsi lain. Puluhan lainnya, termasuk polisi dan warga sipil, mengalami luka-luka akibat lemparan batu, gas air mata, dan kekerasan fisik. Di beberapa daerah, demonstran membakar ban dan mendirikan barikade, memicu respons keras dari polisi antihuru-hara. Tim medis di Quito sibuk menangani korban, dengan rumah sakit setempat melaporkan peningkatan pasien hingga 40% selama puncak protes. Selain korban jiwa, kerugian ekonomi juga signifikan, dengan produksi minyak Ekuador turun 10% akibat blokade jalan. Situasi ini mencerminkan pola protes sebelumnya, seperti pada 2019, yang menewaskan 11 orang, dan 2022, yang menewaskan enam orang, menunjukkan bahwa isu subsidi BBM selalu sensitif di Ekuador.
Kesimpulan: Ekuador Buat Status Darurat Usai Protes Subsidi BBM Dihapus
Krisis di Ekuador akibat penghapusan subsidi BBM menunjukkan betapa kompleksnya menyeimbangkan kebijakan ekonomi dengan stabilitas sosial. Status darurat yang diberlakukan mencerminkan situasi genting, dengan protes yang dipicu oleh kenaikan harga bahan bakar telah memakan korban jiwa dan mengganggu perekonomian. Meski bertujuan menyelamatkan anggaran untuk program sosial, kebijakan ini memicu kemarahan masyarakat, terutama kelompok adat yang merasa terpinggirkan. Kegagalan pemerintah dalam mengelola komunikasi dan mencari solusi inklusif memperburuk situasi. Bagi negara tetangga seperti Indonesia, krisis ini menjadi pengingat akan pentingnya dialog dengan masyarakat sebelum menerapkan kebijakan sensitif seperti reformasi subsidi. Ke depan, Ekuador perlu mencari cara untuk meredakan ketegangan dan membangun kepercayaan publik agar reformasi ekonomi tidak lagi memicu kekacauan.