Tugas Berat Wapres AS Untuk Lucuti Senjata Hamas. Di tengah ketegangan yang masih membara di Timur Tengah, Wakil Presiden Amerika Serikat, JD Vance, menghadapi misi yang penuh rintangan: meyakinkan kelompok militan Hamas untuk menyerahkan senjatanya sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata Gaza. Kunjungan Vance ke Israel pada 22 Oktober 2025, di mana ia bertemu Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, menandai langkah awal administrasi baru di bawah Presiden Trump untuk mendorong perdamaian berkelanjutan. Vance menyatakan optimisme bahwa rencana gencatan senjata berjalan lebih baik dari perkiraan, tapi ia tak segan mengakui betapa sulitnya tugas ini. “Kami punya pekerjaan berat di depan: melucuti senjata Hamas sambil membangun kembali Gaza,” katanya. Insiden ini datang setelah serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang menewaskan ribuan warga Israel, memicu perang yang telah merenggut puluhan ribu nyawa di Gaza. Saat dunia menanti kemajuan, pertanyaan besar tetap: bisakah diplomasi AS memaksa Hamas mundur tanpa memicu eskalasi baru? REVIEW FILM
Kunjungan Vance dan Pertemuan dengan Netanyahu: Tugas Berat Wapres AS Untuk Lucuti Senjata Hamas
Vance tiba di Yerusalem pagi hari itu, langsung menuju kantor Perdana Menteri untuk diskusi tertutup yang berlangsung lebih dari dua jam. Agenda utama: mempercepat implementasi kesepakatan gencatan senjata yang melibatkan pembebasan sandera Israel, penarikan pasukan dari sebagian Gaza, dan langkah awal demiliterisasi. Netanyahu, yang dikenal tegas dalam urusan keamanan, menyambut Vance dengan janji dukungan penuh, tapi menekankan bahwa Israel tak akan kompromi pada hak bela diri. Vance, mewakili sikap administrasi Trump yang pro-Israel, menegaskan bahwa AS tak datang untuk “mengasuh” gencatan senjata, melainkan untuk memastikan komitmen dari semua pihak.
Pertemuan itu juga menyentuh isu bantuan kemanusiaan, dengan Vance mendorong akses lebih luas ke Gaza untuk makanan dan obat-obatan, sebagai syarat agar Hamas setuju menyerahkan senjata. Presiden Trump, dari Gedung Putih, menambahkan tekanan melalui pernyataan keras: ancaman sanksi ekonomi lebih berat jika Hamas tak patuh. Kunjungan ini bagian dari rangkaian diplomasi Vance sejak dilantik, termasuk kunjungan ke Riyadh sebelumnya untuk koordinasi dengan sekutu Arab. Meski detail kesepakatan dirahasiakan, sumber dekat tim Vance menyebut kemajuan pada poin pembebasan sandera—setidaknya 20 orang diharapkan dibebaskan dalam minggu depan. Namun, Vance menolak beri tenggat waktu untuk disarmament penuh, bilang itu “akan butuh waktu sedikit lebih lama.”
Tantangan Utama dalam Melucuti Senjata Hamas: Tugas Berat Wapres AS Untuk Lucuti Senjata Hamas
Melucuti senjata Hamas bukan sekadar urusan logistik; itu soal politik dan keamanan yang rumit. Kelompok militan itu, yang menguasai Gaza sejak 2007, punya gudang senjata rakitan dari Iran dan sekutu lain, termasuk roket anti-tank dan drone. Estimasi intelijen AS bilang Hamas masih pegang ribuan senjata ringan pasca-perang 19 bulan. Vance akui, “Ini tugas sulit,” karena Hamas sering pakai warga sipil sebagai perisai, bikin operasi pengumpulan senjata berisiko tinggi. Israel khawatir jika disarmament gagal, roket bisa kembali ditembakkan ke kota-kota seperti Tel Aviv.
Faktor lain: tekanan internal Hamas. Pemimpin seperti Yahya Sinwar, yang bersembunyi di terowongan Gaza, bergantung pada citra sebagai pejuang untuk dukungan basis. Menyerah senjata bisa dianggap pengkhianatan, picu perpecahan atau kudeta dari faksi radikal. AS coba atasi ini lewat insentif: janji bantuan rekonstruksi senilai miliaran dolar untuk Gaza, termasuk pembangunan sekolah dan rumah sakit. Tapi, Vance tekankan, tak ada uang tanpa disarmament. Kritikus bilang pendekatan ini terlalu lunak, mengingat Hamas tolak proposal serupa di ronde negosiasi sebelumnya. Selain itu, peran Mesir dan Qatar sebagai mediator krusial—mereka yang fasilitasi pembicaraan Doha, tapi pengaruhnya terbatas atas Hamas yang curiga pada Barat.
Implikasi Lebih Luas bagi Stabilitas Timur Tengah
Jika berhasil, inisiatif Vance bisa ubah peta kawasan. Gaza yang hancur—dengan 80 persen bangunan rusak—butuh rekonstruksi cepat untuk cegah krisis kemanusiaan lebih parah. AS janji kontribusi utama, tapi itu tergantung kesepakatan dengan sekutu Eropa dan Teluk. Bagi Israel, disarmament berarti akhir era ancaman roket, buka pintu normalisasi lebih luas dengan negara Arab. Netanyahu sebut ini “kesempatan emas” untuk perdamaian abadi. Tapi gagalnya bisa picu perang baru, terutama jika Hamas rearm lewat terowongan Sinai.
Di AS, tugas Vance uji kredibilitas administrasi Trump. Dengan pemilu midterm mendekat, tekanan domestik dari basis pro-Israel kuat, tapi kelompok progresif tuntut akuntabilitas atas korban Gaza. Vance, yang awalnya dikenal sebagai senator konservatif, kini belajar navigasi diplomasi rumit ini. Secara regional, kesuksesan bisa dorong dialog lebih luas, termasuk soal Lebanon di utara, di mana Hizbullah tunggu isyarat. Namun, ancaman dari Iran—penyandang dana Hamas—bikin semuanya rapuh. Analis bilang, tanpa tekanan militer paralel dari Israel, diplomasi Vance mungkin cuma omong kosong.
Kesimpulan
Misi JD Vance untuk melucuti senjata Hamas adalah ujian api bagi diplomasi AS di era baru. Dengan optimisme yang hati-hati dan pengakuan atas rintangan besar, ia wakili harapan bahwa tekanan gabungan bisa pecah kebuntuan panjang. Tapi, seperti kata Vance, ini tak mudah—perlu komitmen dari Hamas, dukungan Israel, dan kesabaran internasional. Bagi Gaza, hasilnya bisa jadi jalan keluar dari siklus kekerasan; bagi kawasan, peluang stabilitas nyata. Saat mata dunia tertuju Yerusalem, satu hal pasti: tugas ini takkan selesai dalam semalam. Harapannya, langkah Vance jadi batu loncatan menuju masa depan di mana senjata diganti alat bangun, dan perdamaian bukan lagi mimpi jauh.
