Direktur FBI Beri Senjata Untuk Pejabat Selandia Baru. Pada akhir September 2025, sebuah insiden diplomatik kecil tapi mencolok mengguncang hubungan AS-Selandia Baru: Direktur FBI Kash Patel memberikan replika pistol 3D-printed yang ternyata ilegal menurut undang-undang setempat kepada pejabat keamanan Selandia Baru. Kejadian ini terjadi selama kunjungan Patel ke Wellington pada Juli lalu, saat ia membuka kantor FBI pertama di negara itu. Hadiah berupa display stand dengan pistol plastik tak berfungsi itu diterima oleh tiga pejabat senior, tapi akhirnya harus dimusnahkan karena dianggap berpotensi diubah jadi senjata sungguhan. Di tengah ketegangan global pasca-pemilu Trump, insiden ini jadi sorotan media, memicu diskusi soal sensitivitas budaya, regulasi senjata, dan diplomasi. Bukan skandal besar, tapi cukup bikin kedutaan AS gelisah. Artikel ini mengupas kronologi, latar belakang, dan implikasinya, biar Anda paham kenapa hadiah sederhana bisa jadi berita internasional. BERITA BASKET
Kronologi Insiden dan Respons Awal: Direktur FBI Beri Senjata Untuk Pejabat Selandia Baru
Insiden bermula pada 31 Juli 2025, saat Kash Patel, Direktur FBI di bawah pemerintahan Trump kedua, tiba di Wellington untuk acara pembukaan kantor FBI standalone pertama di Selandia Baru. Sebagai pejabat senior pertama dari administrasi Trump yang berkunjung ke sana, Patel bertemu dengan para pemimpin keamanan lokal untuk perkuat kerjasama intelijen, terutama soal terorisme dan kejahatan siber. Selama pertemuan itu, ia hadiahi setidaknya lima pejabat senior dengan “challenge coin display stand” – bingkai dekoratif khas FBI yang biasanya berisi koin komemoratif. Tapi, bagian uniknya: setiap stand dilengkapi replika pistol 3D-printed dari plastik, yang dimaksudkan sebagai simbol tantangan teknologi senjata ilegal yang sering dihadapi penegak hukum.
Penerima utama termasuk Komisaris Polisi Selandia Baru Andrew Coster – meski laporan awal sebut Richard Chambers, tapi konfirmasi resmi tunjukkan Coster – serta Andrew Hampton, direktur jenderal NZSIS (badan intelijen manusia), dan Andrew Clark, direktur jenderal GCSB (badan intelijen teknis). Dua menteri juga terlibat: Menteri Polisi Mark Mitchell dan Menteri Pertahanan Judith Collins. Pihak Selandia Baru segera curiga. Keesokan harinya, para pejabat konsultasi dengan Police Arms Services, regulator senjata, yang menyatakan pistol itu ilegal. Di Selandia Baru, pistol – bahkan replika yang tak berfungsi – dianggap senjata terlarang jika bisa dimodifikasi, dan memerlukan izin khusus di luar lisensi senjata biasa. Hukumannya? Hingga tiga tahun penjara atau denda NZ$4.000 (sekitar US$2.300). Akhirnya, pistol-pistol itu diamankan dan dimusnahkan untuk patuhi hukum.
Latar Belakang Hukum Senjata Selandia Baru: Direktur FBI Beri Senjata Untuk Pejabat Selandia Baru
Kejadian ini tak lepas dari konteks ketatnya regulasi senjata di Selandia Baru, yang berubah drastis pasca-tragedi Christchurch. Pada Maret 2019, seorang ekstremis Australia menyerang dua masjid di Christchurch, tewaskan 51 orang dengan senjata semi-otomatis yang dibeli secara legal. Penyelidikan menemukan kegagalan pengecekan lisensi, memicu reformasi cepat: larangan senjata semi-otomatis, amnesti buyback senjata senilai NZ$100 juta, dan undang-undang baru yang naikkan usia lisensi jadi 18 tahun. Pistol jadi kategori paling dibatasi; bahkan replika 3D-printed dianggap berisiko karena potensi modifikasi jadi senjata nyata, terutama di era teknologi cetak 3D yang murah.
FBI, di sisi lain, sering gunakan replika seperti ini sebagai alat pelatihan atau hadiah simbolis untuk tunjukkan ancaman senjata ilegal. Patel, mantan penasihat Trump yang kontroversial, dikenal vokal soal keamanan domestik AS, termasuk kritik terhadap regulasi senjata longgar. Tapi, kunjungannya ke Selandia Baru seharusnya jadi momen positif: kantor FBI baru itu untuk perkuat kolaborasi melawan ancaman transnasional seperti peretasan China atau terorisme. Sayangnya, hadiah itu tak lolos cek budaya. Tidak jelas apakah Patel minta izin impor senjata ke Kedutaan AS di Wellington; juru bicara FBI tolak komentar, tapi pakar bilang ini kesalahan protokol dasar. Di AS, replika semacam itu legal sebagai barang dekoratif, tapi di Selandia Baru, undang-undang Arms Act 1983 tak pandang bulu: bentuk pistol saja sudah cukup untuk klasifikasi ilegal.
Reaksi Publik dan Implikasi Diplomatik
Berita meledak pada 30 September 2025, setelah Associated Press laporkan detailnya, diikuti NBC, Guardian, dan ABC. Di Selandia Baru, respons campur: Komisaris Coster sebut itu “kesalahpahaman yang disayangkan”, tapi tekankan kepatuhan hukum. Menteri Mitchell bilang hadiahnya “dihargai niatnya”, tapi prioritas keselamatan publik. Media lokal seperti Stuff.co.nz soroti ironinya: FBI ajari soal senjata ilegal, tapi beri yang ilegal. Di AS, kritik lebih tajam; mantan agen FBI James Davidson dari FBI Integrity Project sebut ini “kekurangan sensitivitas” dari Patel, yang sudah kontroversial karena janji “bersihkan” FBI dari elemen “deep state”.
Implikasinya? Diplomatik ringan, tapi bisa ganggu kerjasama. Selandia Baru, sekutu Five Eyes, bergantung FBI untuk intelijen, tapi insiden ini ingatkan beda nilai: AS pro-senjata, Selandia Baru anti-kekerasan pasca-Christchurch. Beberapa analis bilang ini cerminkan gaya Trump 2.0: impulsif dan kurang perhatikan norma internasional. Di media sosial, Reddit ramai diskusi di r/3Dprinting, campur tawa dan kritik: “Hadiah FBI yang bikin polisi musnahkan hadiahnya sendiri.” Belum ada sanksi formal, tapi ini jadi pelajaran buat hadiah diplomatik ke depan. Patel, yang baru tiga bulan jabat, mungkin anggap ini blip kecil di tengah prioritas domestik seperti investigasi Epstein.
Kesimpulan
Insiden pistol 3D-printed Kash Patel ke pejabat Selandia Baru adalah contoh klasik bagaimana niat baik bisa salah langkah di panggung internasional. Apa yang dimaksudkan sebagai simbol kerjasama malah jadi pelanggaran hukum, soroti jurang regulasi senjata antar negara. Di 1 Oktober 2025, dengan pistol sudah dimusnahkan dan FBI diam, ini tak ubah aliansi AS-Selandia Baru, tapi ingatkan pentingnya riset budaya sebelum beri hadiah. Bagi Patel, ini mungkin cuma catatan kaki di karirnya yang penuh kontroversi; bagi Selandia Baru, penguatan komitmen anti-senjata pasca-tragedi. Pada akhirnya, diplomasi sukses bukan soal kado mewah, tapi pemahaman mutual – pelajaran sederhana dari sebuah pistol plastik yang tak pernah ditembak.