Alasan Mengapa Simpanse Menyukai Minuman Alkohol. Siapa sangka simpanse, primata yang jadi kerabat terdekat manusia, punya kesukaan tak biasa: minuman beralkohol. Studi terbaru yang dilakukan tim peneliti dari Universitas Kyoto di Jepang, dirilis pada 28 September 2025, mengungkap bahwa simpanse liar di hutan Guinea, Afrika Barat, secara rutin meminum getah pohon kelapa sawit yang difermentasi secara alami, mengandung alkohol hingga 6,9%. Video yang diambil di desa Bossou menunjukkan simpanse menggunakan daun sebagai “sendok” untuk menyeruput getah dari wadah tradisional yang ditinggalkan penduduk. Ini bukan sekadar iseng: simpanse tampak menikmati efek euforia, bahkan ada yang terhuyung setelah minum! Fenomena ini bukan hal baru, tapi penelitian terkini akhirnya ungkap alasan di balik perilaku ini, dari naluri biologis hingga adaptasi lingkungan. Mengapa simpanse tertarik pada alkohol? Apakah ini cuma kebetulan, atau ada kaitan evolusi dengan manusia? Berikut penjelasan yang bikin kita takjub sekaligus penasaran. BERITA VOLI
Naluri Biologis: Kepekaan terhadap Alkohol: Alasan Mengapa Simpanse Menyukai Minuman Alkohol
Simpanse menyukai alkohol bukan karena “ingin mabuk”, melainkan karena tubuh mereka punya kemampuan alami untuk mendeteksi dan memanfaatkan etanol. Penelitian Kyoto temukan bahwa simpanse punya enzim serupa manusia, seperti alkohol dehidrogenase (ADH), yang memecah etanol jadi energi. Ini hasil evolusi selama jutaan tahun, di mana primata leluhur kita—termasuk simpanse—sering makan buah-buahan yang difermentasi secara alami di hutan. Buah matang yang jatuh, seperti jambu atau mangga liar, bisa mengandung alkohol hingga 2-3% saat mikroba memecah gula. Bagi simpanse, mencium bau etanol jadi sinyal: makanan ini kaya kalori, cepat diserap, dan aman dimakan.
Di Bossou, getah kelapa sawit yang difermentasi punya daya tarik serupa. Satu “gelas” getah bisa beri simpanse hingga 200 kalori, jauh lebih efisien daripada daun atau buah mentah. Peneliti catat, simpanse jantan dewasa—yang butuh energi ekstra untuk dominasi sosial—paling sering minum, terutama di musim kemarau saat makanan langka. Menariknya, mereka tak sembarang minum: simpanse pilih wadah dengan bau etanol kuat, tunjukkan kepekaan indera mereka. Ini mirip naluri manusia purba yang cari madu atau buah fermentasi, yang akhirnya mendorong tradisi minum alkohol. Jadi, kesukaan simpanse ini bukan cuma soal “pesta”, tapi strategi bertahan hidup yang terukir dalam DNA.
Adaptasi Lingkungan: Manfaatkan Sumber Daya Manusia
Selain naluri, simpanse di Guinea tunjukkan adaptasi cerdas terhadap lingkungan yang dipengaruhi manusia. Di Bossou, penduduk lokal punya tradisi mengumpulkan getah kelapa sawit untuk bikin “palm wine”, minuman tradisional beralkohol. Mereka tinggalkan wadah bambu di pohon, biarkan getah mengalir dan difermentasi alami. Simpanse, yang sudah biasa amati aktivitas manusia, pelajari ini sebagai peluang. Mereka tak cuma minum sisa getah, tapi kembangkan teknik: lipat daun jadi alat hisap, mirip sedotan, untuk akses cairan lebih efisien. Ini luar biasa: simpanse tak hanya manfaatkan sumber daya, tapi ciptakan “teknologi” sederhana.
Peneliti catat, perilaku ini muncul karena hutan Bossou menyusut akibat pertanian dan perkebunan. Dengan makanan alami makin sedikit, simpanse belajar “nyuri” dari manusia—bukan cuma getah, tapi juga buah-buahan atau tanaman di kebun. Minum getah beralkohol jadi solusi ganda: cepat kenyang, plus efek relaksasi yang bikin mereka lebih santai di lingkungan penuh tekanan. Ini juga tunjukkan fleksibilitas sosial simpanse: kelompok yang minum bersama cenderung lebih kohesif, mirip efek bir di bar manusia! Tapi, ada risiko: paparan rutin ke alkohol bisa ganggu kesehatan mereka, meski penelitian belum lihat dampak serius di populasi ini.
Kaitan Evolusi: Cermin Perilaku Manusia
Fenomena simpanse minum alkohol juga bikin kita bertanya: seberapa dekat ini dengan manusia? Studi Kyoto bilang, kesukaan simpanse ke etanol mungkin jadi cikal bakal tradisi minum manusia. Sekitar 10 juta tahun lalu, nenek moyang manusia dan simpanse punya mutasi genetik yang tingkatkan efisiensi metabolisme alkohol. Ini beri keunggulan: leluhur yang bisa manfaatkan buah fermentasi punya sumber kalori tambahan, tingkatkan peluang bertahan hidup. Simpanse modern, dengan gen serupa, tunjukkan perilaku paralel: mereka tak cuma suka alkohol, tapi cari secara aktif, mirip manusia yang kembangkan bir atau anggur.
Yang bikin takjub, simpanse juga punya “budaya minum”. Di Bossou, hanya kelompok tertentu yang minum getah, sementara simpanse di wilayah lain—meski ada getah—tak melakukannya. Ini mirip variasi budaya manusia, di mana minum alkohol jadi ritual sosial di satu komunitas, tapi tabu di tempat lain. Peneliti bilang, simpanse pelajari kebiasaan ini dari sesama kelompok, bukan insting murni—persis seperti anak manusia lihat orang tua minum kopi atau anggur. Bahkan, ada simpanse yang “ketagihan”: satu jantan, dijuluki “Si Peminum”, tertangkap kamera minum hingga terhuyung tiga kali dalam seminggu! Ini bukti bahwa kesukaan alkohol bukan eksklusif manusia, tapi akarnya jauh ke masa evolusi bersama.
Kesimpulan: Alasan Mengapa Simpanse Menyukai Minuman Alkohol
Kesukaan simpanse pada minuman beralkohol, seperti getah kelapa sawit di Guinea, bukan sekadar tingkah lucu, tapi cerminan naluri biologis, adaptasi lingkungan, dan bahkan kaitan evolusi dengan manusia. Enzim yang memecah etanol bantu mereka manfaatkan kalori dari sumber tak biasa, sementara kecerdasan mereka ubah tradisi manusia jadi peluang makanan. Lebih dari itu, perilaku ini tunjukkan betapa dekat kita dengan simpanse: dari gen yang suka alkohol hingga “budaya minum” yang muncul dalam kelompok. Tapi, ini juga peringatan: interaksi manusia dan simpanse, seperti di Bossou, bisa ubah perilaku alami mereka—entah jadi inovasi atau risiko kesehatan. Fenomena ini buka jendela ke masa lalu evolusi kita, sambil ingatkan bahwa alam punya cara sendiri untuk bikin kita tersenyum, atau mungkin terhuyung, bersama. Saat peneliti terus amati, satu hal jelas: simpanse tak cuma minum untuk hidup, tapi mungkin juga untuk sedikit “bersenang-senang”—persis seperti kita di akhir pekan.